Akibatnya, kajian-kajian tentang Islam beserta disiplin keilmuannya (Islamic Studies) di Timur serasa lesu dan mati suri. Sementara geliat kajian tentang Islam di Barat demikian terasa signifikansinya. Yang nampak dari meruyaknya kecenderungan Islamic Studies di Barat adalah bahwa parameter idealitas sikap keberislaman seseorang setidaknya harus tunduk kepada paradigma masyarakat Barat yang mengedepankan aspek kemanusiaan yang sedikit banyak terilhami filsafat humanisme.
Kelesuan Islamic Studies di Timur oleh sebagian kalangan dicoba untuk dicarikan penyebabnya. Mungkin salah satu faktor yang disinyalir begitu dominan bagi kemunduran Islamic Studies di Timur adalah kentaranya pendekatan ideologis. Mengkaji Islam dalam kaca mata Islamic Studies ala Timur merupakan satu kajian yang jauh dari sentuhan-sentuhan kritis dan cenderung menutup rapat nuansa ilmiah. Ini berbeda dengan pendekatan yang dilakukan Barat yang lebih senang memperlakukan Islam hanya sebagai objek kajian dengan mengesampingkan aspek ideologis.
Namun, sebenarnya fenomena merebaknya Islamic Studies di Barat juga terkait dengan keunggulan dalam penguasaan metodologi yang hampir selalu gagal dimulai oleh Islamic Studies di Timur. Kegagalan ini makin diperparah oleh kemunculan fenomena keilmuan baru yang bernama orientalisme. Kajian-kajian orientalisme yang mempunyai banyak cakupan disiplin ilmu-ilmu keislaman seperti 'Ulum al-Qur'an, Hadîts, Fiqh dan yang lainnya perlahan mampu membunuh Islamic Studies di Timur. Belum lagi dengan adanya tokoh-tokoh orientalis semisal Ignaz Goldzhier, Louis Massignon dan Harald Motzki yang sangat intens dan serius mempelajari Islam. Dampaknya pun terlihat, Islamic Studies di Timur bangkrut dan gulung tikar.
Seiring dengan mapannya Islamic Studies di Barat yang dengan signifikan mampu melahirkan para orientalis handal, apresiasi dari cendekiawan Muslim terhadapnya semakin memuncak. Ketertarikan kepada Islamic Studies di Barat dan kepada metode-metode yang dikembangkan para orientalis membuat banyak kalangan dari cendekiawan Muslim yang mencoba menerapkannya atau mengadopsinya dalam kajian Islam. Kalau harus menunjuk nama, salah satunya adalah Fazlurrahman dan yang teraktual adalah Khaled Abou el Fadhl.
Ketertarikan para intelektual Muslim terhadap Islamic Studies di Barat bukan tanpa alasan. Mereka meyakini bahwa apa yang dikembangkan oleh para orientalis dengan mega proyeknya yang bernama Islamic Studies adalah konsepsi-konsepsi ilmiah yang obyektif. Pun metodologi-metodologi serta pisau-pisau analisa kontemporer yang mereka tawarkan seperti hermeneutika, semiotika dan psiko analisa terasa menggairahkan dan sayang kalau dilewatkan begitu saja.
Keyakinan yang beranjak dari kesadaran intelektual ini sejatinya sebagai semacam refleksi atas maraknya fenomena-fenomena memprihatinkan yang terjadi dalam agama Islam. Oleh mereka, Islam terlihat sempoyongan dan kewalahan ketika berhadapan vis a vis dengan problem kekinian. Islam yang termanifestasikan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah beserta derivasinya terus digugat untuk tetap konsisten dalam memperjuangkan kebebasan dan menjunjung tinggi aspek-aspek humanisme yang sempat tereduksi.
Dengan obyektif, semestinya kita bisa jujur bahwa dengan maraknya Islamic Studies di Barat secara tidak langsung berperan dalam mengembalikan beberapa serpihan historis khazanah tradisi keilmuan Islam yang lenyap karena minimnya kesadaran intelektual komunal. Sejarah telah menyaksikan bagaimana usaha gigih tanpa pamrih para orientalis yang sangat memperhatikan terhadap kelestarian manuskrip-manuskrip (makhthûthat) ulama-ulama salaf. Perhatian yang relatif tinggi ini setidaknya adalah sebuah postulat untuk menyahihkan asumsi bahwa ada keobyektifan yang ingin ditunjukkan para orientalis sebagai representasi idealitas Islamic Studies di Barat. Paling tidak, untuk tidak merasa malu dan jengah ketika belajar Islam kepada non Muslim.
Tetapi sayangnya, kajian ilmiah para orientalis sering dicurigai; dengan mengatakannya penuh akan muatan teologis-politis dan berkonotasi divide et impera. Dikatakan bermuatan teologis karena dalam kajian Islamic Studies di Barat yang dibungkus dengan jubah intelektualisme terdapat spirit missionaris. Disalahpahami penuh dengan ambisi-ambisi politik, karena kajian Islamic Studies yang dikembangkan Barat jelas akan sarat dengan pandangan hidup (world view) masyarakat Barat dan karenanya tidak bebas nilai.
Kecurigaan terhadap para orientalis dengan Islamic Studies-nya secara simultan dilontarkan oleh Edward Sa'id. Dengan keras, dia menohok Barat dengan mengatakan bahwa Barat memandang Timur dengan jumawa, etnosentris, rasialis dan imperialis (Orientalisme, 204). Pandangan senada juga keluar dari Anwar al-Jundi. Dalam bukunya, al-Fikr al-'Arabi al-Mu'ashir fi Ma'rakat al-Taghrib, dengan keras dia menuliskan bahwa teori-teori yang mereka keluarkan belum tentu sejalan dengan Islam itu sendiri.
Betapapun mengalami badai-badai tuduhan dan hujatan, perjalanan Islamic Studies di Barat tidak tersandung, apalagi terhenti. Fakta bahwa kajian Islam madzhab Barat mampu menyuguhkan wajah Islam yang lebih ramah dan peka terhadap problematika kontemporer malah mampu menelikung tuduhan minor terhadap model kajian Islam para orientalis. Adanya realitas yang paradoks dengan yang dituduhkan terhadap kajian Islam model Barat, oleh banyak kalangan yang simpati terhadapnya dimaknai sebagai bentuk kecemburuan atas menghegemoninya Islamic Studies di Barat.
Hegemoni Islamic Studies di Barat atas Islamic Studies di Timur bila ditinjau sisi historisitasnya, akan terlihat lebih sebagai kepanjangan dari keberhasilan reformasi keagamaan yang dilaksanakan dengan serius di Barat. Sebuah reformasi keagamaan yang bertolak dari hasil pembelajaran Barat kepada konsepsi-konsepsi intelektual muslim seperti Ibn Sina, al-Farabi dan Ibn Rushd. Atau dalam bahasa yang tegas dapat dikatakan, Barat telah mengambil kebenaran (Islam) itu dan berkomitmen menerapkannya dengan serius. Jadi, Islam memang kini benar-benar ada di Barat dan kita harus mengambil darinya.
Oleh Muhammad Mawhiburrahman
0 comments:
Post a Comment