Artikel ini sebelumnya sudah dipublish 20 september 2007 dengan judul "Melampaui Islam Arab", kali ini saya coba republish dengan judul Masa Depan Islam Indonesia akan Melampaui Islam Arab ?. Selemat membaca.

Tulisan Azyumardi Azra bertajuk "Mengekspor Islam Indonesia" yang dimuat dalam Republika, 09 Agustus 2007 nampaknya hendak menyadarkan pada publik bahwa masa depan Islam Indonesia akan berpotensi menjadi sample Islam yang ideal. Dengan jumlah masyarakat muslim yang terbesar di seluruh dunia, fenomena keberislaman masyarakat Indonesia memang unik dan punya karakteristik. Pandangan keberislaman masyarakat Indonesia menjadi beragam karena menjalani proses akulturasi dengan tradisi lokal yang begitu plural.

Dalam tulisannya tersebut, Azra optimis Islam Indonesia akan dapat memiliki peran yang lebih signifikan dalam percaturan global. Bahkan, bagi penulis, masa depan Islam bisa saja beralih dari dunia Arab dan berpindah menuju Indonesia. Tak mustahil, Indonesia bisa selayaknya Baghdad ketika Islam menggapai puncak peradabannya. Sebuah kawasan yang menjadi muara segala ilmu pengetahuan; titik temu bagi mazhab pemikiran dan merangkul segenap nilai-nilai kultur dan budaya.

Terlebih, Islam Indonesia punya sumber daya yang memadai yang terwujud dalam membludaknya minat masyarakat Indonesia yang menggeluti Islamic Studies baik di Barat maupun Timur. Belum lagi, dalam kaca mata sejarah, Islam Indonesia memiliki tradisi keberislaman yang mengakar kuat. Dalam buku fenomenalnya, "Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara", Azra memberikan kesaksian yang brilian akan hal tersebut. Ia menyajikan bukti adanya korespondensi diplomatik antara Raja Sriwijaya Sri Indravarman dengan Khalifah Umar ibn Abdul Aziz. Secara otomatis, postulat ini menepikan tesa orientalis kenamaan asal Belanda, Snouck Hurgronje yang menyatakan jika Islam Nusantara mulai eksis terhitung semenjak abad 13 Masehi sebagaimana termuat dalam bukunya, "L'Arabie et Les Indes Neerlandaises".

Kiprah Sarjana Klasik Islam Nusantara
Masih dalam buku yang sama, Azra dengan jeli memotret fenomena intelektual Islam Nusantara beserta dinamikanya lebih dari sekadar untuk membuktikan bahwa Nusantara kaya dengan figur-figur raksasa intelektual kenamaan. Selain itu, paparan Azra atas jaringan Islam Nusantara bukan mustahil bermaksud menceritakan kembali kegemilangan Islam Nusantara. Nah, dengan warisan tradisi keilmuan yang kokoh, Islam Indonesia bisa saja mengulang jejak kejayaan khazanah Islam Nusantara. Kejayaan yang sejatinya merupakan gugusan pergulatan intelektual para sarjana klasik dari pelbagai daerah dan kawasan. Mulai dari Pattani, Thailand Selatan, Aceh, Palembang, Banten, Jawa hingga Bugis dan Makassar.

Tercatat, dari kawasan Sumatera kita mengenal nama-nama Hamzah al-Fansuri, al-Raniri, al-Sinkili dan tentu saja al-Palimbani. Tokoh terakhir inilah yang karyanya, mendapat apresiasi demikian besar dari pelbagai kalangan. Baik kalangan Arab maupun Melayu sendiri. Fase berikutnya, Tanara, kampung kecil di kawasan Banten melahirkan seorang tokoh besar yang kelak bernama Imam Nawawi al-Bantani. Yang mungkin paling fenomenal adalah figur yang muncul dari kawasan Jawa Timur.

Adalah sosok besar Syaikh Ihsan al-Jampasi (Jampes) dengan karya besarnya berjudul Siraj al-Thalibin yang sempat menjadi diktat resmi di Fakultas Ushuluddin Universitas Azhar. Tak jauh dari Jampes, di daerah Termas lahir figur besar yang bernama Syaikh Mahfudh al-Tarmasi. Karya utamanya adalah Manhaj Dzaw al-Nadhar; sebuah buku yang mengupas tuntas materi ulum al-hadits dan sebuah buku fikih mazhab Syafi'i. Beranjak menuju daratan Sulawesi, disana ada sarjana-sarjana besar semodel al-Makasari yang bahkan namanya juga menjulang di Cape Town, Afrika Selatan. Belum lagi kiprah al-Banjari yang melegenda di tanah Banjar, Kalimantan dalam kapasitasnya sebagai seorang mufti.

Pada era 80-an, dunia intelektual Islam Arab dibikin terkagum-kagum oleh kiprah ulama besar asal Padang yang bernama Abou al-Faydh Muhammad Yasin atau yang lebih familiar dengan nama Syaikh Yasin al-Fadani. Kemampuan fikihnya yang brilian menjadikannya sebagai rujukan primer bagi para ulama Indonesia dan bahkan ulama internasional. Karya seminalnya, Fawa'id al-Janiyyah fi Qawa'id al-Fiqhiyah adalah sebuah buku yang membedah problematika seputar kaidah-kaidah fikih yang akan selalu dikenang. Pun sebagai referensi utama bagi diskursus seputar kaidah fikih (qawa'id al-fiqhiyah). Beberapa karyanya dalam disiplin ilmu lain semisal balaghah kian mempertegas keluasan ilmu yang dimilikinya.

Masa Depan Islam Indonesia
Di atas bahu raksasa macam mereka, Islam Indonesia kini bersandar. Mereka -para sarjana klasik Islam Nusantara- telah meletakkan blue print bagi dinamika keberislaman masyarakat Indonesia. Mereka pula yang memberikan bukti bahwa ras Arab tidak mesti selalu unggul dalam kajian-kajian keislaman. Sebagaimana sejarah keilmuan Arab pernah bertutur, bagaimana sarjana-sarjana besar juga pernah terlahir dari kalangan ‘ajam (non Arab), seperti dari Persia, Granada dan Asia Tengah.

Yang layak mendapatkan apresiasi adalah kemampuan mereka untuk melakukan pribumisasi Islam. Oleh mereka, ajaran-ajaran Islam diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat secara integral dan disinergikan dengan kultur dan budaya setempat. Konsep Islam disebarkan melalui pesantren, surau, dayah dan masjid. Dinamika Islam Nusantara menjadi kian bergairah. Sayangnya, semangat pencerahan yang berhasil menggelorakan iklim intelektual Nusantara pada abad 17, 18 dan 19 menjadi kian meredup. Selepas Yasin al-Fadani, kiprah para sarjana Islam Indonesia di percaturan intelektual global menjadi semakin sirna. Hampir mustahil menemukan sarjana Islam Indonesia yang berkaliber internasional.

Sepanjang dapat terus menghidupkan tradisi intelektual yang diwariskan para sarjana klasik Islam Nusantara, penulis yakin tidaklah berat guna mewujudkan cita-cita mulia Azra untuk mengekspor Islam Indonesia. Prasyarat tersebut juga paralel dengan sejauh mana kesungguhan masyarakat Indonesia dalam merawat pola keberislaman yang pernah mereka wariskan. Islam Indonesia akan menjadi prototype Islam global jika penghormatan atas sesama agama mendarahdaging.

Namun sebaliknya. Jika Islam Indonesia mengambil jarak dari tradisi dan kultur setempat, tidak steril dari aroma arabisme yang kental, maka masa depan Islam Indonesia akan terpuruk. Indonesia tidak akan menjadi Baghdad ataupun Cordova yang pernah menjadi pusat peradaban Islam dunia. Indonesia malah hanya serupa lahan subur guna menyebar benih pertikaian antar sekte ideologi dan pemikiran. Jika demikian, bersiap-siaplah untuk terjebak dalam glorifikasi kejayaan Islam Nusantara tanpa pernah sukses meraihnya lagi.

0 comments:

Post a Comment

 
Top