Bukanlah Sebuah Kegagalan oleh Muhammad Mawhiburrahman. Kalau seorang Aristoteles [322-384] mengandaikan dan meyakini manusia – selain sebagai mahluk rasional - sebagai zoon politicon, maka ini dengan sendirinya meniscayakan adanya interaksi antar sesama. Premis ini memberikan satu makna bahwa manusia secara kodrati dituntut untuk selalu hidup dalam ikatan kelompoknya yaitu masyarakatnya dengan bekerja sama demi memenuhi kebutuhan hidupnya dan kelangsungan eksistensinya.

Ada banyak cara bagaimana manusia dapat menjalankan perannya sebagai mahluk sosial. Mungkin salah satu sarana pembelajaran yang paling akrab dengan kita adalah dengan berkecimpung dalam sebuah organisasi [aktifitas sosial kemasyarakatan]. Dengan berorganisasi, kita dapat mengoptimalkan fungsi zoon politicon dalam pribadi masing-masing sebagai salah satu rangkaian usaha menuju pengembangan pribadi yang utuh dengan memperhatikan aspek lahiriah dan aspek rohani.

Namun, pada saat kita menerima pengandaian semacam ini, secara tidak langsung kita harus mampu menyeimbangkan antara kerasionalan dan kesosialan. Karena, betapapun dominannya sisi zoon politicon tentu tidak boleh mengalahkan sisi rasionalitas dalam diri kita. Demikian juga sebaliknya. Manusia ketika dipahami sebagai mahluk rasional akan menuntut adanya proses pembelajaran yang berkesinambungan. Sementara manusia ketika diposisikan sebagai mahluk sosial akan memaksa adanya ikatan emosional yang berdasarkan empati. Sebuah pilihan yang dilematis memang dalam rangka mengarah kepada keberhasilan yang dicita-citakan.

Keberhasilan bagi sebagian orang boleh jadi diukur dengan sangat rigid dan terjebak pada formalitas yang cenderung mengarahkan pada perilaku memandang sebelah mata. Artinya, parameter utama bagi sebuah keberhasilan adalah pendidikan semata beserta atribut akademik. Selain itu tidak. Pada hal, kalau mau jujur, pendidikan belum tentu berkorelasi positif dengan keberhasilan. Terlebih bila mengingat belum ada konsep pendidikan yang telah mapan dan paripurna. Asumsi atau pemaknaan semacam ini tentu saja mengaburkan peran manusia sebagai zoon politicon dengan hanya menampilkan wajah mahluk rasional dari manusia.

Sementara meyakini bahwa keberhasilan tidak memerlukan uluran tangan pendidikan adalah sebuah pernyataan yang boleh dibilang terlalu jumawa. Klaim ini seperti ingin menegaskan keterpisahan dari dua premis yang telah diandaikan oleh Aristoteles yaitu manusia sebagai mahluk rasional dan mahluk sosial. Klaim yang menginginkan aktifitas sosial sebagai satu-satunya tolak ukur keberhasilan yang diidamkan.

Idealnya, sebuah parameter keberhasilan adalah terpenuhinya 2 peran/ fungsi manusia. Hal ini bermakna bahwa sebuah keberhasilan adalah keberanian untuk mempertemukan atau menyeimbangkan sekaligus memaksimalkan potensi intelektual sebagai perwujudan dari peran mahluk rasional dengan aktifitas sosial kemasyarakatan sebagai implementasi dari peran mahluk sosial. Namun, dalam tataran praksis, parameter ideal ini sangat sulit untuk dipraktekkan walau tidak mustahil untuk dapat diwujudkan.

Mahasiswa Indonesia di Mesir sebagai sebuah bagian dari komunitas masyarakat tentu dituntut mampu melakukan optimalisasi terhadap perannya sebagai mahluk rasional dan mahluk sosial. Bila mengingat harapan dan beban yang diamanatkan orang tua serta mendasarkannya pada orientasi kekinian, maka adalah merupakan sebuah kewajaran – dalam perspektif keakuan - bagi kita untuk lebih menseriusi potensi intelektual dengan menomor duakan aktifitas sosial. Sebuah sikap yang berarti mencoba untuk menutup diri dan menjauh dari kodratnya yang dituntut untuk selalu hidup dalam ikatan kelompoknya yaitu masyarakatnya. Satu perilaku yang dapat dipahami sebagai bagian dari selalu memandang penting terhadap segala atribut dan predikat akademis.

Buah dari keseriusan terhadap potensi intelektual ini akan melahirkan paradigma bahwa kesuksesan dan keberhasilan hanya bisa dilihat dengan kacamata kelancaran studi atau proses belajar mengajar. Pola pikir ini, pada akhirnya akan berujung pada anggapan bahwa aktifitas sosial merupakan penghambat bagi sebuah proses menuju keberhasilan. Singkatnya, aktifitas sosial yang identik dengan organisasi adalah antitesis bagi studi. Sungguh sebuah sikap yang teramat naif dan mengada-ada.

Penilaian di atas bisa menjadi mustahil untuk terbantahkan bila Tuhan tidak menjadikan [keberhasilan] masa depan sebagai sebuah misteri. Namun, ketika [keberhasilan] masa depan masih dan akan tetap merupakan misteri maka penyeimbangan terhadap peran rasional dan sosial manusia haruslah tetap diupayakan sebagai wujud usaha memecahkan misteri [keberhasilan] masa depan. Hal ini akan meniscayakan adanya manajemen waktu yang proporsional sekaligus profesional. Sikap proporsional mungkin lebih menekankan kepada bagaimana kita bisa bersikap adil terhadap aktifitas sosial dan aktifitas intelektual dengan tidak menganggap ada yang lebih urgen di antara keduanya. Sementara sikap profesional lebih memperhatikan pada implementasi dari sikap proporsional tersebut. Adakah sepenuh hati dalam menjalankan dua aktifitas tadi atau malah muncul kegamangan dalam menjalaninya.

Keraguan untuk dapat menyandingkan dengan mesra antara aktifitas intelektual [sebagai pengejawantahan mahluk rasional] dan aktifitas sosial [sebagai perwujudan mahluk sosial] pada hakikatnya bukan karena aktifitas intelektual dan aktifitas sosial merupakan dua hal yang paradoksal, melainkan lebih kepada ke-belum mampu-an dalam memaksimalkan segala potensi diri.

Bila demikian, maka sukses dalam beraktifitas intelektual [baca;studi] dan beraktifitas sosial [baca;organisasi] adalah sebuah probabilitas atau justru sebuah keharusan saat kita menyadari bahwa kegagalan memecahkan misteri keberhasilan masa depan bukanlah sesuatu yang inheren dengan semua aktifitas sosial kita.

0 comments:

Post a Comment

 
Top