Seni dalam Perspektif Islam - Benarkah pergulatan Islam dengan seni mengalami kebuntuan; deadlock? Dengan tanpa ragu, banyak kalangan mengiyakannya. Hal ini pula yang menjadi keyakinan mayoritas umat Islam selama berabad-abad. Beberapa bidang garap seni adalah musuh laten bagi ajaran Islam. Wilayah seni adalah wilayah hitam yang harus dijauhi. Ranah yang penuh dengan bujuk rayu setan. Bidang yang tidak memberikan manfaat dan maslahat apapun bagi kepentingan umat.

Untuk sekadar memberi misal, Islam digambarkan selalu saja mengambil jarak dengan seni musik. Islam pun kurang memberikan apresiasi sepatutnya pada dunia seni lukis. Yang terlihat oleh kita, Islam memilah dan memilih secara ketat dunia seni. Akibatnya, eksistensi seni Islam hanya dipahami kebesarannya dalam seni baca al-Qur'an dan seni kaligrafi. Bisa jadi, seni baca al-Qur'an merupakan ejawantah dari seni musik. Sedang seni kaligrafi mencitrakandirinya sebagai manifestasi dari seni lukis.

Islam Klasik dan Dunia Seni
Bagi penulis, keyakinan yang salah bahwa Islam dihinggapi alergi pada dunia seni banyak terpengaruh oleh kegagalan dalam merekam data sejarah secara utuh yang berkaitan dengan fenomena berkesenian para generasi salaf al-shalih. Kegagalan tersebut, selain karena dominasi epistema para fuqaha, juga banyak disebabkan oleh minimnya akses guna mendapatkan informasi berkait dengan aktifitas berkesenian para ulama klasik.

Mayoritas fuqaha memang turut bertanggungjawab atas kesalahpahaman ini. Kebanyakan dari fuqaha dalam mengharamkan seni lukis dan seni pahat misalnya, bersandar pada hadits yang menyatakan bahwa seberat-beratnya siksa bagi manusia di hari kiamat adalah siksa bagi para pelukis (al-mushawwirun). Padahal jika dirunut secara mendalam, hadits tersebut muncul saat Ayyam al-Watsaniyyah. Yakni sebuah periode di mana patung dan lukisan disakralkan dan dipersepsikan sebagai Tuhan.

Kemudian, dalam bentangan sejarah Islam Klasik diketahui bahwa pengikut aliran Tasawuf Falsafiy merupakan satu aliran yang gemar bermusik dan bernyanyi. Mereka, dalam kondisi fana-nya, sambil diiringi musik mendendangkan syair-syair lagu yang berisikan konsep-konsep panteisme dan inkarnasi. Praktek ini jelas membuat para fuqaha berang karena telah disusupi oleh ajaran panteisme dan inkarnasi yang dilarang oleh syariat. Imbasnya, praktek bermusik dan bernyanyi pun menjadi terlarang dan haram hukumnya karena dianggap turut menyuburkan kedua konsep tadi. Sebuah sikap hati-hati yang akhirnya justru terlalu melampaui batas.

Selain faktor fuqaha, keterbatasan dalam mengakses informasi yang memuat fakta yang mendukung tindakan kesenian juga layak menjadi kambing hitam atas munculnya keyakinan yang keliru dalam masyarakat. Akibat ketidaktahuannya, masyarakat meyakini hal-hal yang tidak pernah dilaksanakan oleh para ulama terdahulu adalah sesuatu yang buruk dan menjadi wajar untuk diharamkan. Sebagai contoh, masyarakat punya anggapan bahwa para ulama tidak ada yang pernah punya kepedulian dengan dunia seni lukis dan seni pahat. Mereka pun berprasangka, jika semua ulama sepakat melarang seni lukis dan seni pahat.

Padahal, fakta historis menceritakan kebalikannya. Ada banyak ulama yang punya perhatian dan kepedulian pada dunia seni lukis dan seni pahat. Makiy ibn Hamus (355-437 H), seorang pakar tafsir dari Andalus memberikan kesaksian dalam bukunya "al-Hidayat ila Bulugh al-Nihayat" bahwa sebagian ulama membolehkan seni lukis dengan mengacu pada al-Qur'an surat Ali ‘Imran ayat 49. Dengan berpedoman pada ayat yang sama, al-Nuhas (338 H), seorang mufassir klasik memberikan kesaksian senada. Baginya, seni lukis tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Lebih jauh lagi, beberapa ulama klasik juga bersikap moderat dengan membolehkan seni pahat (patung). Al-Qurthubiy, dalam tafsir klasiknya, "al-Jami' li Ahkam al-Qur'an", memberitakan bahwa hukum menggunakan mainan boneka dalam proses pendidikan adalah boleh. Bahkan dalam Thabaqat Ibn Sa'd diceritakan, sekalipun mainan berupa boneka tersebut dalam pelbagai bentuk. Yang paling fenomenal mungkin adalah seorang pakar fikih bernama al-Qarafiy (684 H). Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Imarah, al-Qarafiy ternyata menekuni dunia seni lukis dan seni pahat (patung).

Sikap Umat Islam
Sedari awal, Islam memang telah berkomitmen untuk memajukan dunia seni. Itu terbukti dari tindakan nyata yang dilakukan oleh para ulama terdahulu. Baik dalam bentuk fatwa hukum maupun kiprah langsung al-Qarafiy. Jika demikian, pergulatan antara Islam dengan dunia seni tidaklah mengalami kebuntuan. Yang terjadi adalah kekurangtelitian dalam menggali fakta-fakta historis.

Lantas bagaimana umat Islam menyikapi dunia seni? Adalah menarik di sini mengingat kembali pesan Abduh kepada muridnya, Rashid Ridha. Seperti yang terangkum dalam "al-A'mal al-Kamilah li al-Imam Muhammad Abduh" karya pemikir moderat asal Mesir, Muhammad Imarah, Abduh berujar,"..para pelukis dan pemahat telah mempersembahkan lukisan dan patung sebagai buah karya mereka. Dan manfaatnya pun telah dirasakan. Sedang kekhawatiran terlahirnya sikap menuhankan patung dan lukisan tersebut tidaklah terbukti. Jika demikian, kamu bisa mengambil konklusi hukum atasnya..".

Oleh karenanya, sudah sepantasnya kita menapak jejak sikap moderat para ulama terdahulu. Terlebih, berlaku proporsional dan seimbang merupakan perilaku yang dianjurkan al-Qur'an agar diterapkan dalam seluruh aktifitas manusia. Dalam surat al-A'raf ayat 31, Allah SWT telah menegaskan kepada umat manusia agar tidak berlaku melampaui batas dalam apapun.

Walhasil, Islam menghargai benar atas karya-karya seni. Terlebih, karya-karya seni dapat membantu kita untuk kian meyakini keagungan dan keindahan alam semesta ciptaan Allah SWT. Islam hanya berkehendak, dunia seni tumbuh dan berkembang selaras dengan misi moralitas yang selalu diusung Islam. Bukan dunia seni yang tumbuh sebagai duplikasi dari khazanah seni peradaban lain. Toh, kata Nabi, "Allah al-Jamil Yuhibbu al-Jamal". Betapa, Allah memang mencintai keindahan.

0 comments:

Post a Comment

 
Top