Nahwa Fiqh Jadîd: Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat
Pengantar
Jika menengok sejarah, selepas gegap-gempitanya suara pembaharuan yang disulut Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, pembaharuan di dunia Arab-Islam secara garis besar, terbelah menjadi tiga kutub. Kutub pertama diasumsikan sebagai sayap pembaharuan dengan akselerasi cepat (liberal) dengan tokohnya seperti Ali Abdur Raziq hingga yang terkini adalah Hasan Hanafi, Abid al-Jabiri dan Muhammad Arkoun. Di kutub yang mengambil posisi berlawanan adalah sayap pembaharuan dengan gerak yang lambat. Sayap pembaharuan model ini dianggap sebagai prototype pembaharuan yang moderat. Dalam kelompok ini terdapat nama besar semisal Rasyid Ridha dan berlanjut hingga era Wahbah Zuhayli, al-Qardhawi dan al-Bouthi.

Pada kutub ketiga terdapat sayap puritan-radikal dengan jargon usangnya proyek purifikasi Islam dan ajarannya. Dalam proyek pembaharuannya, kelompok pertama begitu terbuka dengan pihak luar (Barat) dan berani melakukan otokritik atas khazanah turats. Sementara kelompok kedua meyakini idealitas turats dan bersikap "hati-hati" terhadap the others. Dalam banyak hal, kedua sayap tersebut banyak mengalami friksi dengan sayap puritan-radikal yang menjerumuskan pada perilaku takfir satu sama lainnya sebagai akibat dari perbedaan dalam memandang sebuah diskursus, isu dan wacana keagamaan yang tengah berkembang.

Menariknya, pengaruh dua kecenderungan pembaharuan di atas juga marak digandrungi dalam dinamika intelektual bangsa Indonesia. Beberapa kalangan yang mengimani sayap liberal menjadikan figur-figur tenar semodel Ali Abdur Raziq, Mustafa Abdur Raziq, Hasan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Abid al-Jabiri dan Mohamad Arkoun sebagai patron. Sedang pihak yang memedomani sayap kedua menjadikan Rasyid Ridha, Zuhayli, al-Bouthi dan al-Qardhawi sebagai imam mereka. Yang paling menonjol ketokohannya dan punya banyak pengaruh dalam pergulatan wacana keagamaan bangsa Indonesia dari kelompok yang kedua ini, nampaknya adalah Yusuf al-Qardhawi. Sedang kelompok ketiga banyak menginspirasikan fenomena radikalisme di Tanah Air.

Selain dikenal sebagai penulis prolifik, al-Qardhawi dipandang sebagai sedikit sarjana muslim kontemporer yang mampu menyajikan fikih dalam frame work yang sama sekali berbeda dari fikih klasik. Lihat saja gayanya. Alih-alih mengemas kajian fikih dengan mengekor para fuqaha' klasik, al-Qardhawi menampilkan kajian fikih dalam nomenklatur yang menggelitik. Mulai dari Fiqh al-Zakat sampai Fiqh al-Awlawiyat. Ini yng menjadikan kajian fikih di tangan al-Qardhawi terlihat compatible dan kontekstual bagi jaman modern.

Salah satu karya teraktual al-Qardhawi adalah sebuah buku berukuran sedang berjudul "Dirasât fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat". Buku setebal 287 halaman ini dicetak pertama kali tahun 2006 dan mengalami cetak ulang untuk yang kedua kalinya tahun 2007. Selain bermula dari sebuah seminar yang bertemakan maqâshid al-syarî'at yang diselenggarakan di London tahun 2004, nampaknya buku ini juga dimaksudkan sebagai respon positif al-Qardhawi (untuk tidak mengatakannya sebagai bentuk kelatahan) atas kajian maqâshid al-syarî'at yang kembali mulai marak di dunia Arab Islam pada tahun 2000-an.

Guna mengetahui sejauhmana perhatian dan pandangan-pandangan al-Qardhawi atas konsep maqâshid al-syarî'at, penulis mencoba menjadikan buku "Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat" sebagai pijakan utama dalam melakukan proses analisa. Penulis juga akan mencoba melakukan komparasi antara konsepsi-konsepsi al-Qardhawi dalam buku tersebut dengan studi atas maqâshid al-syarî'at yang dilakukan sarjana muslim lainnya agar posisi al-Qardhawi menjadi terang benderang.

Maqâshid al-Syarî'at dalam Lintas Paradigma
Dalam pergulatan wacana keagamaan kontemporer, isu maqâshid al-syarî'at, di mata sebagian masyarakat awam, banyak dihembuskan oleh kalangan liberal sebagai sebuah simbol perlawanan atas kian teguhnya keberpihakan pada dominasi fikih klasik yang dalam banyak hal telah gagal melampaui jamannya. Kalangan progresif itu kerap menyebut al-Syathibi sebagai bapak maqâshid al-syarî'at. Menurut mereka, jika orientasi fikih kontemporer banyak mengadopsi muatan-muatan maqâshid al-syarî'at, bisa dipastikan bahwa wajah fikih akan menjadi ramah dan peka terhadap problematika terkini masyarakat.

Asumsi di atas secara faktual dapat dengan mudah terbantahkan. Adalah tidak benar bahwa isu maqâshid al-syarî'at hanya menjadi concern dan menjadi monopoli sayap liberal. Ada banyak sarjana dari sayap moderat yang juga mempunyai perhatian serius pada isu maqâshid al-syarî'at. Dan al-Qardhawi pun mengafirmasinya. Dalam pengakuannya, al-Qardhawi menyatakan, jika sedari awal dia telah mempunyai perhatian pada isu maqâshid al-syarî'at. Sikap itu muncul selain sebagai buah dari pergulatannya dengan ayat-ayat al-Qur'an, juga disebabkan atas analisanya pada beberapa produk hukum Islam, dan pembacaannya terhadap buku-buku karangan ulama klasik yang peka dengan isu maqâshid al-syarî'at sebagaimana terekam dalam karya Ibn Taymiyyah, Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah, al-Syathibi, dan al-Dahlawiy. Perhatiannya pada maqâshid al-syarî'at menjadi kian terasah karena pergaulan intelektualnya dengan para sarjana muslim kontemporer yang mengimani maqâshid al-syarî'at semisal Abdul Wahhab al-Khallâf dan Mustafa al-Zarqa. Untuk memperteguh klaimnya, al-Qardhawi memberikan kesaksian bahwa aroma maqâshid al-syarî'at dapat ditemukan dalam karya-karya lainnya seperti al-Madkhal li Dirasat al-Syari'at al-Islamiyyah dan lainnya. [Yusuf al-Qardhawi, (2007), Dirâsat fi Fiqh Maqâshid al-Syarî'at bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûsh al-Juz'iyyat, Cet. II, Cairo: Dar al-Shourouk, hal. 11-13].

Selepas mengetengahkan alasan ketertarikannya dengan kajian maqâshid al-syarî'at, al-Qardhawi memberikan kesaksian obyektif akan potensi positif fikih maqâshid al-syarî'at sebagai induk dan asas bagi kajian fikih lainnya. Lebih jauh lagi, al-Qardhawi meyakini bahwa fikih maqâshid al-syarî'at sangat mungkin menjadi sebuah genre fikih baru yang peka atas realitas kekinian.

Al-Qardhawi dalam proyek maqâshid al-syarî'at sebagaimana terangkum dalam buku yang sedang kita kaji ini mencoba mengawalinya dengan mendedahkan definisi terma fikih maqâshid al-syarî'at. Dalam konteks kekinian, dia memahami syari'at dalam dua kerangka. Pertama, idiom syari'at tak lebih dari agama beserta seluruh ajarannya. Sedangkan kerangka yang kedua mengandaikan syari'at sebagai dimensi legal formal agama. Pemaknaan yang kedua ini tak lain mengunci syari'at dan menyamakannya dengan fikih. Bagi penulis, penjelasan al-Qardhawi atas makna syari'at tidaklah membawa hal yang baru.

Al-Qardhawi pun tak luput untuk menguraikan definisi frase maqâshid al-syarî'at. Dalam benak al-Qardhawi, maqâshid al-syarî'at dipahami sebagai tujuan yang hendak dicapai oleh tek-teks liturgis keagamaan yang termanifestasikan oleh hukum-hukum yang bersifat parsial dalam kehidupan bermasyarakat. Dia menganggap bahwa maqâshid al-syarî'at identik dengan hikmah di balik proses legislasi. Bukan sebagai ratio legis dari sebuah hukum. Sikap simplikatif al-Qardhawi di sini terlihat berseberangan dengan Thaha Abdurrahman. Jika simplikasi dan dogmatisasi ditempuh al-Qardhawi, maka langkah sofistikasi diambil Thaha Abdurrahman.

Menurut Thaha Abdurrahman ada tiga langkah yang hendaknya dilakukan dalam melakukan studi atas maqâshid al-syarî'at. Pertama, reposisi terhadap maqâshid al-syarî'at. Idealnya, bagi Thaha Abdurrahman, maqâshid al-syarî'at diletakkan sebagai sub kajian dari diskursus filsafat. Tidak berada dalam kerangkeng kajian fikih dan ushul fikih. Asumsi tersebut berdasar pada anggapannya bahwa maqâshid al-syarî'at merupakan satu disiplin ilmu etikal yang bertujuan menciptakan kemaslahatan manusia. Kedua, pemahaman integral atas terma maqâshid al-syarî'at. Secara semantik, terma ini menyiratkan adanya tiga hal urgen yang tak dapat terlepas dari maqâshid al-syarî'at. Ketiga hal tersebut adalah aspek praksis, aspek niat (ketulusan) dan moralitas. Ketiga, telaah ulang atas konsep pembagian nilai menjadi primer, sekunder dan tersier. Thaha Abdurrahman menganggap adanya ambiguitas dan ketidaktegasan dalam pembagian nilai-nilai maslahat. Tuduhan Thaha Abdurrahman ini dipicu oleh fakta logis bahwa setiap pembagian atau klasifikasi (taqsim)apapun mensyaratkan adanya keberlainan (tabayun). Jika klasifikasi model sarjana klasik itu memang komitmen dengan prasyarat di atas, maka tak akan terjadi ketumpangtindihan antara nilai-nilai elementer dengan nilai-nilai sekunder dan komplamenter. Namun kenyataan mengatakan sebaliknya.[Thaha Abdurrahman, (2002), Masyru' Tajdid ‘Ilmiyyli Mabhats Maqashid al-Syari'at, Vol. 103, Cairo: Jurnal al-Muslim al-Mu'ashir, hal. 41-62].

Dari pembacaan di atas, dapat dikenali bahwa langkah maju yang signifikan justru lebih banyak dilakukan oleh Thaha Abdurrahman. Fakta ini bukan berarti menegasikan bahwa al-Qardhawi sama sekali tak mengambil langkah maju. Salah satu langkah maju yang coba ditawarkan al-Qardhawi adalah dengan mengkritisi klasifikasi nilai-nilai elementer dengan hanya mencukupkan menjadi lima bagian (al-Kuliyyat al-Khams). Al-Qardhawi memandang konsepsi al-Kuliyyat al-Khams yang digagas al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya, bila ditarik dalam ranah modern, tidaklah mencukupi dalam menyikapi dinamika peradaban masyarakat yang kian kompleks. Dia berpendapat ada nilai-nilai elementer lain yang harus ditambahkan seperti kesetaraan, kebebasan dan hak-hak asasi manusia guna melengkapi teori al-Kuliyyat al-Khams. [Yusuf al-Qardhawi, op-cit, hal. 27-29].

Mungkin, menjadi menarik di sini untuk menampilkan sebuah pernyataan al-Qardhawi yang dikutip oleh Jamaluddin Atheyyah. Ujar al-Qardhawi:

"Saya meyakini bahwa selain al-Kuliyyat al-Khams, terdapat juga jenis-jenis maqashid lain yang belum mendapat apresiasi sepantasnya. Maqashid-maqashid itu justru banyak terkait dengan realitas masyarakat. Jika selama ini mayoritas nilai-nilai maqashid (al-Kuliyyat al-Khams) lebih banyak berpihak pada individu, lantas bagaimana dengan kebebasan (al-huriyyat), kesetaraan (egaliterianisme) dan keadilan? Seperti apakah signifikansi dan urgensinya? Tak pelak, fakta ini mendorong perlu adanya telaah ulang.."

Nyatanya, pendapat al-Qardhawi itu juga banyak disampaikan oleh para pengkaji maqâshid al-syarî'at lainnya semisal al-Raysuni dan yang lain. [Jamaluddin Atheyyah, (2003), Nahwa Taf'il Maqâshid al-Syarî'at, Cairo: Dar al-Fikr, hal. 100-103].

Upaya melakukan penambahan atas konsep klasik al-Kuliyyat al-Khams yang matang di tangan al-Amidiy itu tidak melulu berkutat pada isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi. Sebagian akademisi mengajukan isu lingkungan hidup agar menjadi salah satu bagian nilai elementer (al-Dharuriyyat). Kalangan ini menganggap bahwa hifdh al-kawn tak kalah penting dengan konsep hifdh al-dîn dan juga isu-isu penegakan hak asasi manusia dan pelaksanaan politik demokrasi.

Gagasan al-Qardhawi untuk melakukan penyempurnaan atas teori al-Kuliyyat al-Khams juga diamini oleh pemikir-pemikir progresif seperti Hasan Hanafi. Lebih jauh lagi, selain melakukan pembaharuan atas teori al-Kuliyyat al-Khams konvensional sebagaimana disarankan al-Qardhawi, Hasan Hanafi menganggap perlu adanya upaya melakukan perluasan makna atas konsep al-Kuliyyat al-Khams klasik. Sebagai contoh, "al-din" (dalam frase hifdh al-dîn) dalam perspektif Hasan Hanafi yang liberal harus dimaknai sebagai jaminan atas kebebasan beragama secara utuh. Sedang idiom hifdh al-mâl mengalami perubahan makna menjadi sebuah jaminan atas aset dan harta milik masyarakat dan negara juga. Dimensi al-mâl jangan sampai dikebiri dengan hanya menjadi justifikasi bagi terjaminnya aset pribadi atau golongan semata. [Hasan Hanafi, (2002), Maqashid al-Syari'at wa Ahdaf al-Ummat; Qira`at fi al-Muwafaqat li al-Syathibi, Vol. 103, Cairo: Jurnal al-Muslim al-Mu'ashir, hal. 65-102].

Korelasi Maqashid al-Syari'at dengan Mazhab dan Ideologi Sarjana Muslim
Melihat pola pembaharuan atas konsep maqâshid al-syarî'at di atas, dapat kita lihat terdapat perbedaan signifikan antara konsep pembaharuan Thaha Abdurrahman dan Hasan Hanafi dengan al-Qardhawi. Perbedaan dalam memandang konsep maqâshid al-syarî'at tidak hanya terjadi antara tiga tokoh di atas. Bahkan, para sarjana muslim klasik juga mengalami perbedaan satu sama lainnya. Sebagai misal, al-Ghazali berbeda dengan al-Syathibi dalam menentukan prioritas al-Kuliyyat al-Khams. Al-Baydhawi tak sepakat dengan al-Subki dan al-Zarkasyi. Sebagian mendahulukan hifdh al-dîn, yang lainnya lebih memprioritaskan hifdh al-nafs.

Yang menarik untuk ditelisik, perbedaan dalam memandang maqâshid al-syarî'at, apakah punya korelasi yang erat dengan perbedaan dalam ranah teologis-ideologis dan mazhab? Dan ternyata, al-Qardhawi mempunyai jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam sub bagian selanjutnya yang berjudul "Bayn al-Maqâshid al-Kuliyyat wa al-Nushûs al-Juz`iyyat Tsalâts Madâris", al-Qardhawi mencoba menganalisa sejauhmana perbedaan konsep maqâshid al-syarî'at ketika terdapat perbedaan teologis-ideologis dan mazhab atau aliran. Sub bagian ini terdiri atas tiga tema besar yang menyoroti seputar eksistensi tiga mazhab besar yang dianggap mewakili keberadaan teologi-ideologi dan mazhab dalam khazanah pemikiran Islam Klasik. Ketiga tema besar itu adalah mazhab al-Dhahiriyyah al-Judud (Neo Skripturalisme-Literalisme), mazhab al-Mu'aththilat al-Judud (Neo Liberalisme) dan mazhab al-Wasathiyyat (Moderatisme). Untuk memperjelas pengaruh pandangan teologis atas konsep maqâshid al-syarî'at, penulis mencoba mengurai penjelasan al-Qardhawi secara runtut dengan tetap mengkomparasikannya dengan tesa-tesa lainnya.

Apakah yang dikehendaki oleh al-Qardhawi dengan mazhab Neo Skripturalisme-Literalisme (al-Dhâhiriyyat al-Judud)? Mazhab ini merupakan sebuah mazhab yang lebih mengedepankan pemahaman literalistik atas teks-teks parsial daripada memedomani maqâshid al-syarî'at. Dalam benak al-Qardhawi, mazhab ini terdiri atas banyak kelompok namun dapat dipetakan menjadi dua aliran besar. Aliran pertama adalah kelompok yang berkutat dalam ranah teologis. Dan al-Qardhawi menjadikan gerakan Salafisme (Salafiyyah) sebagai sample-nya. Aliran kedua adalah golongan yang mengambil wilayah politik sebagai basis gerakan dan prioritasnya. Aliran kedua ini, menurut al-Qardhawi nampak dalam kalangan Hizbut Tahrir.

Secara geneologis, penyokong mazhab ini dapat dikatakan sebagai pewaris mazhab al-Dhahiriyyah dan pengikut Ibn Hazm yang terkenal literalistik itu. Kedua kelompok ini dalam kajian fikih klasik dikenal sebagai kelompok yang melandaskan mazhabnya pada al-Qur'an, Sunnah dan Konsensus Shahabat (Ijma'). Dalam banyak hal, keduanya memiliki banyak persamaan. Namun ada satu hal mendasar yang membedakan keduanya. Al-Dhahiriyyah hanya mengenal penggunaan al-qiyas al-jaliy dan menolak al-qiyas al-khafiy. Sedang Ibn Hazm menolak penggunaan silogisme (al-qiyas) secara mutlak. [Ahmad Bakir Mahmud, (1990), al-Madrasat al-Dhahiriyyat bi al-Masyriq wa al-Maghrib, Cet. I, Beirut: Dar al-Qutaybah, hal. 41].

Al-Qardhawi secara mendalam juga mengelaborasi beberapa karakter yang dianggap menonjol dari mazhab Neo Skripturalisme-Literalisme. Antara lain: pemahaman terhadap teks yang terlalu literalistik. Karakter ini menjadikan teks yang berada di tangan mereka statis dan beku. Mereka menutup kemungkinan adanya penafsiran-penafsiran lain yang cenderung utilitarinistik. Karakter yang kedua adalah pola keberfikihannya yang condong pada sikap kaku, memberatkan dan radikal. Akibatnya mereka mendaku kebenaran hanya berada di pihaknya. Tidak di luar mazhab mereka. Yang terakhir dari karakter mereka adalah sikap mencela kepada pihak-pihak di luar mazhab mereka dan mengantarkannya pada sikap takfir.

Beberapa karakter di atas tentunya paralel dengan paradigma yang mereka anut. Efek dari penolakan atas silogisme mengantarkan mereka pada penolakan atas eksistensi ratio legis (ilal al-ahkam). Mereka meyakini bahwa pemahaman literalistik atas teks adalah sebuah hal yang alami. Dalam kaca mata mereka, penafsiran utilitiarinistik yang inheren dengan sikap terbuka pada silogisme malah hanya akan memicu perbedaan di antara umat. Mereka pun menafikan al-istihsan, al-mashalih al-mursalah dan ‘amal ahl al-madinat dari posisinya sebagai sumber hukum. Seakan mewarisi sekte Ghulat Hanabilah yang melecehkan peran filsafat sebagai piranti dalam memahami agama, kelompok ini juga berpendapat bahwa nalar dan akal tidak mempunyai tempat dalam proses memahami teks. Sebuah perilaku yang sejatinya juga menghantam para fuqaha dari kalangan ahl al-ra'y.

Ekses yang paling buruk dari mazhab ini adalah seramnya produk fikih yang mereka hasilkan. Fikih di tangan mereka menjadi terasa demikian mengambil jarak dari realitas, berpihak pada teks dan abai atas dinamika peradaban. Al-Qardhawi mencontohkan beberapa keputusan fikih yang mereka ambil memang jauh dari semangat maqâshid al-syarî'at. Sebagai misal, fatwa yang mengharamkan hasil dari proses dokumentasi yang menggunakan kamera dan video kamera. Mereka mendasarkan fatwa ini pada hadits ‘Aisyah yang masyhur itu. Sikap ini, selain tidak sejalur dengan pendapat mainstream, juga mencerminkan bahwa kelompok ini gagal dalam memahami khazanah turats yang demikian kaya. Pendukung mazhab ini seakan tak tahu langkah fenomenal yang dilakukan oleh seorang pakar fikih bernama al-Qarafiy (684 H). Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Imarah, al-Qarafiy ternyata menekuni dunia seni lukis dan seni pahat (patung). Sejatinya, jika dicermati hadits tersebut muncul dalam masa Ayyam al-Watsaniyyah. Yakni sebuah periode di mana patung dan lukisan disakralkan dan dipersepsikan sebagai Tuhan.

Mazhab kedua yang menjadi sorotan al-Qardhawi adalah mazhab Neo Liberalisme. Oleh al-Qardhawi, mazhab ini diberi label sebagai sebuah mazhab yang kerap menganaktirikan teks-teks parsial dengan lebih mendewakan nilai-nilai universal dan kebajikan publik. Secara historis, konsep mazhab ini boleh dibilang banyak terilhami oleh gerakan rasionalitas Mu'tazilah dalam ranah teologi dan fuqaha ahl al-ra`y dalam wilayah fikih. Dalam menjelaskan aliran ini, al-Qardhawi dengan tegas menunjuk pemikir progresif garda depan asal Aljazair, Mohamad Arkoun sebagai sosok penting bagi mazhab Neo Liberalisme. Al-Qardhawi dengan sengit menuduh Arkoun dan para sarjana muslim dari kalangan liberal dengan proyek pembaharuannya hendak mencampakkan eksistensi hukum-hukum agama (syari'at). Tudingan al-Qardhawi di sini perlu dipertanyakan lebih lanjut. Benarkah Arkoun dan para sarjana yang sepaham dengannya bermaksud demikian?

Sesungguhnya, dalam amatan penulis, apa yang dilakukan Arkoun tak lain sebuah upaya menampilkan fikih (agama dalam skala yang lebih umum) dalam wajah yang ramah dan humanis. Tak heran, dalam proyek pembaharuannya yang bertajuk "Naqd al-‘Aql al-Islamiy", Arkoun memulainya dengan melakukan pemetaan atas nalar dengan membaginya menjadi dua tipe. Nalar pertama disebutnya sebagai al-‘Aql al-‘Arabiy, sedang nalar jenis kedua dinamakan sebagai al-‘Aql al-Islamiy. Bagi Arkoun, kedua nalar itu harus dipisahkan karena masing-masing membawa implikasi yang berbeda-beda. Langkah awal Arkoun tersebut sesungguhnya merupakan titik tolak dalam usahanya membebaskan nalar kritis dari jerat-jerat epistema yang dikonstruksi oleh nalar dogmatis. Pembebasan nalar kritis menjadi penting dan signifikan karena kerap kali wilayah-wilayah yang sejatinya terbuka (ijtihadiy) menjadi tertutup dan sakral karena hegemoni nalar dogmatis. Realitas yang menjadi keprihatinan Arkoun nyatanya banyak terjadi dalam bentangan sejarah peradaban Islam. Dan juga Eropa. [Mohamad Arkoun, (t.t), Qadhaya Naqd al-‘Aqliy al-Diniy; Kayf Nafham al-Islam al-Yawm, Beirut: Dar al-Thali'at, hal. 5-10].

Untuk memperjelas pola dan gerakan sayap progresif ini, al-Qardhawi memberikan gambaran kriteria dasar bagi kelompok ini. Menurut asumsi al-Qardhawi, kalangan progresif ini terdiri atas orang-orang yang awam disiplin ilmu keagamaan, kerap menganggap pihak lain tak mempunyai kapabilitas keilmuan dan western oriented atau mengekor pihak Barat. Dalam poin "al-taba'iyyah li al-gharb", penulis tak sepakat dengan al-Qardhawi. Memang benar bahwa beberapa dari sarjana muslim progresif banyak yang menggunakan piranti dan pisau analisa yang matang di Barat. Misalnya, al-Jabiri yang begitu mengakrabi mazhab strukturalisme, Hasan Hanafi yang piawai menerapkan metode fenomenologi dan Arkoun yang meminjam banyak metodologi yang berkembang subur dalam naungan mazhab post strukturalisme. Namun semuanya itu adalah hal yang lumrah dalam diskursus intelektual. Toh, dulu, sarjana Barat banyak yang meminjam metodologi yang digagas oleh sarjana muslim klasik. Dan nyatanya, kesimpulan yang dihasilkan oleh sarjana progresif dengan para ulama klasik kerap tak berbeda sekalipun menggunakan metode yang berbeda. Fakta ini terungkap dengan adanya kesamaan kesimpulan dalam kasus al-Jabiri yang menggunakan piranti "alam bawah sadar politik-nya Regis Debray dengan analisa Ibn Khaldun. [Muhammad Mawhiburrahman, Beyond Defeatism; Sebuah Pembacaan Hermeneutis Atas Kejatuhan Baghdad, dipresentasikan Kamis, 13 September 2007 dalam kajian eksklusif Lakpesdam di sek. PCI NU Mesir].

Dalam deskripsi lanjutannya atas kelompok progresif ini, al-Qardhawi menyebutkan beberapa hal yang menjadi konsentrasi kalangan ini. Mereka, ujar al-Qardhawi, terlalu menomorsatukan rasionalitas ketimbang memedomani hal-hal yang telah digariskan oleh wahyu. Tragisnya, dalam amatan al-Qardhawi, kelompok ini kerap salah dalam memaknai tindakan-tindakan fikih yang diambil oleh Umar Ibn Khaththab dan Najmuddin al-Thufiy. Yang lekang dalam alam pikir kaum ini, bahwa kebajikan publik (maslahat), sejatinya merupakan manifestasi dari hukum-hukum Tuhan. Jika ditelisik lebih dalam, penilaian al-Qardhawi atas mereka tak sepenuhnya benar. Beberapa kalangan dari sayap progresif memang mengapresiasi sikap keberfikihan yang dilakukan oleh kedua tokoh di atas. Mereka memandang, spirit ala Umar dan al-Thufiy dapat selalu terjamin kontinuitasnya jika diskursus tentang al-tsawabit dan al-mutaghayyirat dikembangkan secara serius.

Beberapa pemikiran fenomenal dan kontroversial dari kelompok progresif ini menjadikan mereka dianggap keluar dari hal-hal yang permanen. Kalangan progresif juga dituding dengan gegabah telah memporak-porandakan kemapanan konsep al-tsawabit dan al-mutaghayyirat sebagaimana yang dituliskan al-Qardhawi. Hemat penulis, di sinilah letak perbedaannya. Kalangan progresif senantiasa ingin mendinamisasikan konsep al-tsawabit dan al-mutaghayyirat, sedang al-Qardhawi dan yang sepaham dengannya menganggap diskusi tentang keduanya telah final dan paripurna. Di sini, penulis sepakat dengan apa yang disampaikan Hasan Hanafi. Menurutnya, sudah masanya al-tsawabit tidak lagi berpihak pada teks, namun lebih berpihak pada kebajikan publik (al-maslahat). [Muhammad Mawhiburrahman, Rethinking of Maqashid al-Syari'ah; Sebuah Jawaban Bagi Pergulatan Nilai Humanisme dengan Teks Agama dalam buku Mengetuk Pintu Syari'ah; Sebuah Telaah Diskursus Maqashid Sayari'ah, (2006), Cairo: KSW Press, hal. 193-212].

Mazhab ketiga yang ditampilkan oleh al-Qardhawi adalah mazhab al-Wasathiyyat (Moderatisme). Bagi al-Qardhawi, mazhab ini merupakan mazhab yang ideal. Oleh karenanya, dia menyebutnya sebagai "Madrasat al-Shirath al-Mustaqim". Apa sesungguhnya yang mendorong al-Qardhawi menyatakan mazhab ketiga ini sebagai mazhab yang ideal? Jika mazhab pertama terjebak dalam kungkungan teks-teks parsial dan mendorongnya dalam penafsiran literalistik serta mengakibatkan sikap radikal; mazhab kedua terlalu gegabah dengan mengabaikan teks-teks parsial dan membawanya dalam sikap permisifisme sebagai buah dari pendewaannya atas nilai-nilai universal, maka mazhab terakhir ini berusaha menjembatani antara dua kutub yang berlawanan. Mazhab ini hendak mempersandingkan teks-teks parsial dengan nilai-nilai universal. Oleh kalangan dari mazhab Moderatisme, hukum-hukum agama akan selalu inheren dengan ratio legis dengan tetap berlandaskan pada urgensitas kebajikan publik.

Untuk mempertegas idealitas aliran ketiga, al-Qardhawi menyodorkan beberapa atribut yang hanya berhak disandang oleh mereka. Atribut-atribut itu antara lain: upayanya melihat teks agama sebagai bangunan utuh, mengimani satu fakta bahwa hukum tuhan dilegislasikan guna keberpihakannya pada maslahat umum, berpandangan moderat, mendialogkan teks-teks agama dengan realitas empirik, serta terbuka dan dialogis. Hanya saja, atribut yang demikian mulia itu apakah hanya sekadar eksis dalam alam imaji (klaim) ataukah terwujud dalam ranah praksis? Sebab, pada kenyataannya, atribut-atribut yang sempurna ini justru memunculkan tudingan miring pada kelompok yang mengklaim dirinya sebagai golongan moderat. Mazhab Literalisme menganggap pihak al-Wasathiyyat sebagai pelaku bid'ah yang karenanya wajar untuk dikecam. Pada sisi lain, sayap progresif memandangnya sebagai sekumpulan orang yang gamang; terjerat oleh glorifikasi tradisi. Problem ini yang harus segera dijawab oleh kalangan moderat.

Sikap mazhab Moderatisme yang mengadopsi kutub literalistik dan utilitarianistik mendorong mereka mempertimbangkan faktor sosio-historis sebuah teks dalam proses ijtihad. Pertimbangan semacam ini dapat dilihat dalam produk-produk fikihnya yang relatif lebih segar dibandingkan dengan fikih klasik. Al-Qardhawi menuliskan beberapa model ketetapan hukum baru yang dihasilkan selepas adanya pembacaan ulang atas dalil-dalil berupa teks agama. Dalam permasalahan kepemimpinan (imamah), masyarakat muslim, selama beberapa dasawarsa, disodori sebuah prasyarat suksesi kepemimpinan yang dalam konteks kekinian terasa menggelikan dan absurd. Prasyarat itu adalah kewajiban berlatar belakang Quraisy. Namun, dengan mengadopsi konsep "ashabiyyat" Ibn Khaldun, prasyarat yang mewajibkan bersuku Quraisy dalam konteks nashb al-imamah (suksesi kepemimpinan) dapat ditinjau ulang dengan tanpa melukai aspek-aspek religiusitas manapun.

Dalam menetapkan keputusan fikih, mazhab Moderatisme, sebagaimana dinyatakan al-Qardhawi juga mempertimbangkan tujuan dari sebuah teks. Sikap ini akan mengantarkan manusia dalam melihat dengan jernih setiap ratio legis yang dipunyai oleh sebuah teks. Ini bermakna bahwa penetapan hukum dalam konstelasi keberfikihan manapun harus selalu mempertimbangkan kaidah "al-hukm yaduru ma'a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman". Jika demikian, bukan tak mustahil, hukum-hukum yang telah ditetapkan dapat ditinjau ulang. Contohnya adalah permasalahan anjuran memotong kumis dan memelihara jenggot. Yang menggembirakan, kecenderungan untuk mempertimbangkan tjuan teks dan menganggap penting eksistensi ratio legis akan dapat meminimalisir perselisihan dalam ranah-ranah yang bersifat ijtihadiy sebagaimana perbedaan dalam menetukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan.

Penutup
Dari elaborasi sederhana di atas, buku yang sedang kita kaji ini tetap memiliki kekurangan. Misalnya, sebagai seorang yang concern dalam kajian fikih, al-Qardhawi memang gagal menampilkan gagasan-gagasan genialnya yang berkenaan dengan maqâshid al-syarî'at. Tak jarang, al-Qardhawi terjebak dalam pembelaan yang kuat atas apa yang disebut Arkoun sebagai nalar dogmatis. Nada ketaksetujuannya disampaikan dalam gaya polemis yang gagal mengesankan dirinya sebagai bagian kaum moderat.

Biarpun demikian, kekurangan tersebut tak dapat menutup-nutupi, betapa ada hal-hal positif yang dapat diambil. Dia dengan obyektif mencoba menampilkan wajah fikih kontemporer yang independen yang bercitarasakan humanis. Bagi penulis, dengan bukunya ini, al-Qardhawi nampak hendak mencitrakan bahwa tradisi fikih klasik tetap dapat bertahan selepas adanya pembacaan ulang atas argumen-argumen yang melandasinya. Dan nyatanya, tradisi Islam memang tak miskin-miskin amat. Demikian.

0 comments:

Post a Comment

 
Top