Bringing Philosophy Back to Home oleh Muhammad Mawhiburrahman (Catatan Singkat Perjalanan Filsafat "Barat")[1]

Pertanyaan yang semestinya diajukan sebelum mengkaji lebih mendalam tentang filsafat Eropa adalah sejauh mana keterkaitan filsafat Eropa dengan filsafat Islam. Pertanyaan ini menjadi perlu demi menghindari perilaku a-historis. Sejenak sebelum tenggelam lebih larut dalam pusaran kajian filsafat Eropa ada beberapa hal yang harus dijadikan sebagai pijakan. Sebagai sebuah kajian, filsafat Eropa memang menyimpan daya pesona yang luar biasa. Disana ada cerita tentang era Skolastik, ada hikayat besar tentang masa kegelapan dan ada epos mengagumkan berkenaan dengan Renaissance.

Parade perjalanan sejarah filsafat Eropa, kini, kerap kali menjadikan kita iri atas efektifitasnya. Terlebih bila melihat realitas miris yang menimpa dunia Islam dewasa ini. Yang menyakitkan, ketika kita bersepakat bahwa ada sebuah proses transformasi filsafat yang dinamis dari Timur (Islam) menuju Barat (Kristen), kenapa cerita tentang Renaissance dapat digapai oleh Barat sedangkan kita sibuk mengubur dalam-dalam perlakuan sewenang-wenang terhadap Averroes (Ibn Rushd)?

Dalam tulisan yang sederhana ini, penulis mencoba menjelitkan sejarah filsafat Barat sebagai sebuah upaya penyadaran bahwa semangat pencerahan yang menyala di Barat adalah satu hal yang mungkin terjadi di Islam. Paling tidak, kajian terhadap diskursus filsafat Barat akan dengan signifikan mengantarkan kita kepada sikap respek terhadap para filsuf agung kita. Bukan sikap curiga yang berlebihan dengan meminggirkan kajian filsafat dan menempatkannya di bawah pasung dogma dan indoktrinasi yang kelewat batas.

Babak Awal Filsafat Barat

Menelaah sisi historis filsafat Barat secara mendalam dan menyeluruh akan mengantarkan kepada sebuah kesimpulan bahwa ada peran dan sumbangsih yang demikian agung dari filsafat Islam. Sebab karena sumbangsih dunia Arab lah, Barat pada pertengahan abad 12 dan 13 dapat mengenal baik karya-karya Aristoteles, Plotinus dan Proclus. Pemikiran filsafati ketiga tokoh inilah, terutama Aristoteles, yang pada akhirnya mampu menyulut kesadaran nalar masyarakat Eropa dan lantas menjadi begitu dominan.[2]

Hegemoni filsafat Aristoteles utamanya dapat dikenali dari parade Aristotelian yang menyemarakkan panggung filsafat Eropa Klasik.[3] Dominasi mazhab Aristoteles ini sesungguhnya banyak terbantu oleh penerjemahan buku-buku filsafat sarjana muslim. Tercatat, ada Johanna (Spanyol) yang menerjemahkan buku Mantiq-nya Ibn Sina. Ada juga Juan De Salve, yang dengan bantuan Johanna menerjemahkan bagian "al-Thabi'at", bagian "al-Nafs" dan bagian "al-Ilahiyyat" dari buku al-Syifa-nya Ibn Sina. Pun ada penerjemahan buku Maqashid al-Falasifah-nya al-Ghazali dan buku-buku al-Kindi.[4]

Pasca penerjemahan buku-buku karangan sarjana muslim, khususnya karangan Ibn Sina, nuansa Aristoteles demikian kentara dalam corak filsafat Eropa Klasik. Hal ini dapat dimaklumi karena sosok Ibnu Sina merupakan sarjana Muslim yang sangat terpengaruh oleh Aristoteles, utamanya dalam konsep teologi (ketuhanan). Bagi pihak teolog Barat, serupa dengan Ibn Sina, alam bermula dari Yang Pertama dan dari Yang Pertama inilah muncul (tercipta) al-'Aql al-Tsani kemudian al-'Aql al-Tsalits dan terus berlanjut hingga al-'Aql al-'Asyir yang punya pengaruh sangat signifikan terhadap manusia.

Untuk memperjelas keterpengaruhan sarjana Barat (filosof) dengan sarjana Muslim rasanya perlu dijelitkan bagaimana sosok Albertus Magnus (Albert the Great), seorang filsuf masa Skolastik yang dengan sungguh-sungguh mempelajari buku-buku filsafat Arab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Keterpengaruhan Albertus Magnus terlihat mengapung kontras ketika dengan vulgar dia mengambil secara utuh konsep-konsep Ibn Sina dalam pembahasan entitas jiwa. Bahkan, keterpengaruhan ini kian nampak ketika dalam memahami filsafat Aristoteles, Albertus Magnus banyak merujuk kepada karya al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rushd.[5]

Yang mengejutkan, keterpengaruhan sarjana Barat dengan sarjana Muslim ternyata tidak hanya terjadi di Jerman; tanah kelahiran Albertus Magnus. Di Italia, sosok besar dalam kajian filsafat Eropa bernama Saint Thomas Aquinas muncul sebagai seorang Aristotelian sejati. Satu figur yang menjelma sebagai Rushdian sejati pada akhirnya nanti. Karakteristik filsafatnya yang Aristotelian sangat kuat nampak ketika dia menyuguhkan kepada umat Kristiani dalil-dalil argumentatif berkenaan dengan eksistensi Tuhan. Dengan melalui klasifikasi terhadap yang ada (wujud) menjadi 2 macam; yang absolut (wajib) dan yang nisbi (mumkin), Saint Thomas Aquinas mengetengahkan kepada masyarakat Kristiani sebuah landasan epistemologis rasional bagi dogma-dogma gereja. Gaya dikotomik semacam ini yang dengan brilian dipakai untuk memperkokoh kualitas keislaman dan membentengi teologi pada masa klasik oleh al-Farabi dalam Ara’u Ahl al-Madinah al-Fadhilah dan Ibn Sina dalam al-Najat dan al-Syifa-nya.

Melihat realitas demikian adalah sebuah fakta historis yang tak terbantahkan bila Saint Thomas Aquinas diyakini pernah membaca karya-karya al-Farabi dan Ibn Sina. Dan hal ini pun pernah diakui secara eksplisit oleh Saint Thomas Aquinas. Pelacakan terhadap kiprah filsafati Saint Thomas Aquinas secara holistik akan mengantarkan pada kesimpulan bahwa tokoh yang satu ini juga pada akhirnya terpengaruh dengan Ibn Rushd. Keterpengaruhan Saint Thomas Aquinas oleh Ibn Rushd dapat dikenali dari konsepnya mengenai relasi antara akal dan wahyu; antara nalar dan iman. Tegasnya, konsepsi tentang relasi antara akal dan wahyu yang diteriakkan oleh Saint Thomas Aquinas pada abad 13 sesungguhnya hanyalah sekedar pengulangan dari apa yang pernah disampaikan oleh Ibn Rushd dalam Fashl al-Maqal wa Taqrir Ma Bayn al-Syari’at wa al-Hikmat min al-Ittishal. Sebuah buku monumental yang akhirnya mampu menjadi spirit pencerahan di segenap penjuru kawasan Eropa.[6]

Pengulangan terhadap konsep milik Ibn Rushd seakan ingin menegaskan bahwa hegemoni filsafat mazhab Aristoteles via Ibn Rushd di Eropa adalah sesuatu yang mustahil diingkari. Bahkan, filasafat Aristoteles yang telah dikembangkan oleh Ibn Rushd ternyata mampu melahirkan sebuah mazhab filsafat baru yang menginduk kepada Ibn Rushd. Dinamika filsafat Rushdian yang kian menggelora di Eropa ditengarai mulai meruyak pesat ketika Michael Scott pada rentang waktu 1228-1235 M. menerjemahkan karya-karya Ibn Rushd yang merupakan komentar dari buku-buku Aristoteles. Mungkin, yang perlu diperhatikan di sini, bahwa filsafat para Rushdian Eropa semodel Albertus Magnus dan Saint Thomas Aquinas atau yang dikenal sebagai filsafat masa Skolastik merupakan awal dari perkembangan filsafat secara simultan di daratan Eropa.

Bila memperhatikan terhadap atribut "Skolastik" yang disematkan kepada filsafat era Saint Thomas Aquinas dan Albertus Magnus, maka dapat disimpulkan bahwasanya kajian dan diskursus seputar filsafat lebih banyak dimaksudkan sebagai sebuah tindakan teologis. Maksudnya, perhatian yang demikian besar terhadap filsafat tidak lain sebagai upaya untuk memperkuat ajaran-ajaran gereja beserta konsep-konsep teologis agar lebih mapan dari aspek rasionalnya. Oleh karenanya, tidaklah berlebihan kalau pada masa Skolastik ini, mayoritas para pengkaji filsafat mempunyai latar belakang pendeta atau pastor. Jadi, tidak mengherankan bila dalam masa ini, gereja punya jasa yang luar biasa dalam menjaga literatur-literatur filsafat.[7] Yang marak saat itu, motif mengkaji filsafat adalah motif keagamaan, bukan motif ilmiah. Filsafat diposisikan sebagai media memperkokoh landasan rasional iman seseorang daripada dimaknai sebagai sebuah displin ilmu yang memang menyuguhkan fenomena-fenomena intelektual sangat menarik dan mempunyai varian kajian yang bermacam-macam.

Ketika Filsafat Membangkitkan Kesadaran

Saat kajian filsafat di masa Skolastik hanya mengambil lokus dalam gereja, seminari dan biara-biara, maka realita ini menjadikan filsafat sangat tergantung kepada institusi tersebut. Filsafat yang semula dimaksudkan untuk mengukuhkan bangunan teologis gereja saat itu, perlahan mulai tergeser dari tujuan semula dan menjelma sebagai sebuah media penyadaran bagi proses bernalar masyarakat Eropa. Hal ini bisa dilihat dari tipe masyarakat masa Skolastik yang tadinya selalu mengimani segala keputusan gereja secara buta, namun pasca larutnya filsafat dalam kehidupan bermasyarakat, mereka mulai berani melihat secara kritis terhadap segala fenomena kehidupan.

Kondisi masyarakat semacam inilah yang sedikit banyak turut berperan dalam tenggelamnya filsafat mazhab Skolastik. Salah satunya, adalah keinginan untuk mengembangkan bidang garap filsafat agar tidak melulu mengkaji aspek teologis, tapi juga menjangkau segala apa yang nampak dan berjalan dalam peradaban. Sementara itu, dalam sisi lainnya, ada satu hal yang sangat terlibat dalam memudarnya kilauan filsafat mazhab Skolastik yaitu terjadinya perpecahan dalam tubuh gereja. Saat itu, gereja terbagi dalam dua kubu, yaitu pertama, kubu Franciscans dan kedua, kubu Dominicans. Kubu yang pertama dihiasi oleh tokoh-tokoh semisal William of Occam, Duns Scout, Saint Bonaventura dan Roger Bacon. Kelompok Franciscans nampaknya mempersepsikan kalangan mereka sebagai oposisi bagi kelompok Dominicans yang begitu mengagung-agungkan ajaran Saint Thomas Aquinas.[8]

Secara singkat, filsafat pada masa ini (Renaissance) bisa diklasifikasikan dalam 2 kategori. Pertama, filsafat humanisme (1453-1600), kedua, filsafat materialisme (1600-1690). Filsafat kategori pertama berkembang dengan subur di Italia dan kemudian meluas ke pelbagai daratan Eropa. Filsafat tersebut bermaksud mengembalikan manusia kepada posisinya semula; sebagai pemegang peranan dalam kajian filsafat dengan cara menghidupkan sejarah serta meneladaninya; bukan sebagai sikap taklid terhadap masa silam, apalagi sikap glorifikasi terhadap masa lalu. Dalam perkembangan filsafat humanisme, terdapat tokoh-tokoh besar yang ikut menyumbangkan pemikirannya dalam terbentuknya konstruksi filsafat Barat kontemporer. Taruh lah, ada Nicolas Cousa (1401-1463) yang mempercayai terhadap rotasi bumi dan keabadian lama semesta.

Sesudah Nicolas Cousa, lahir tokoh besar lainnya yang bernama Paracelus (1493-1541). Bisa jadi, tokoh ini lah yang pertama kali mencoba menanamkan pemahaman kepada masyarakat bahwasanya ilmu kedokteran, sesungguhnya merupakan akumulasi dari 3 disiplin ilmu atau kajian lainnya, yaitu fisika, astronomi dan teologi. Satu masa dengan Paracelus, di Italia lahir satu figur bernama Niccolo Machiavelli yang populer dengan maha karyanya yang berjudul “The Prince”. Tokoh ini pula yang terkadang diasumsikan oleh banyak kalangan sebagai pendiri ilmu politik modern.[9]

Dalam kajian filsafat humanisme, rasanya tidaklah adil bila tidak menyebutkan Geordano Bruno (1548-1600). Tokoh kelahiran Napoli, Italia yang harus merelakan nyawanya sebagai jaminan atas kegigihannya mempertahankan pendapatnya yang menabrak dogma gereja. Bagi Bruno, mengimani pendapat Copernicus berkaitan dengan sistem tata surya akan berarti adanya rekonstruksi terhadap konsep teologi yang telah mapan. Keyakinannya terhadap hasil riset ilmiah Copernicus yang pada akhirnya mengantarkan dia kepada eksekusi pihak gereja. Sepeninggal tokoh ini, filsafat humanisme mulai tertatih-tatih dan menuju titik suram.[10] Dan pada masa filsafat humanisme ini lah, perang antara otoritas gereja melawan filsafat mulai terentang. Tentunya, realitas ini sangat menyedihkan setelah sebelumnya, filsafat demikian mesra berkait erat dengan otoritas agama (institusi gereja).

Menyuramnya filsafat humanisme sebenarnya tidak saja hanya terkait dengan mangkatnya para tokoh pemuja filsafat humanisme melainkan juga terkait dengan ketiadaan metode yang baku dalam filsafat humanisme. Belum lagi pertarungan yang sengit yang terjadi antara kalangan agamawan dengan kalangan filosof.

Selepas terjungkalnya filsafat humanisme, gejala berfilsafat mulai beranjak pesat dan meninggalkan kekangan-kekangan agama (gereja). Kajian-kajian filsafat mulai berani untuk membicarakan fenomena-fenomena alam. Akibatnya, kajian filsafat menjadi bercorak materialis karena metode yang dipakai adalah metode empirik (tajribah). Filsafat pada masa setelah terpuruknya filsafat humanisme mulai menyertakan pembahasan-pembahasan fisika di dalamnya setelah sebelumnya banyak berkutat dengan diskursus metafisika belaka. Atau memang mengkaji diskursus fisika namun masih dalam ketundukan yang taat terhadap doktrin gereja.

Dominannya aliran empirisme dalam dinamika filsafat materialisme bukan berarti menafikan keberadaan aliran lain. Selain empirisme, ada aliran rasionalis yang masih menganggap bahwa akal lah yang merupakan poros bagi pengetahuan, bukan eksperimen terhadap realitas-empiris.

Berkembangnya filsafat materialisme-empirisme di daratan Eropa memang banyak ditunjang oleh materi kajiannya yang lebih membebaskan, ketimbang materi kajian filsafat era Skolastik dan filsafat humanisme yang masih lebih banyak menyisakan ruang bagi ketundukan terhadap nilai-nilai agama. Kemunculan filsafat materialisme-empirisme juga diiringi oleh lahirnya tokoh-tokoh besar seperti Thomas Hobes,Francis Bacon (1561-1626) di Inggris dan yang lainnya. Bagi Francis Bacon, untuk membentuk nalar baru, maka mutlak diperlukan adanya ilmu mantiq baru. Ilmu mantiq baru di sini dimaksudkan untuk menyediakan landasan-landasan baru bagi pengetahuan yang berdasar atas percobaan. Dalam benak Bacon, mantiq baru tersebut adalah sebuah upaya untuk terlepas dari hegemoni mantiq qadim-nya Aristoteles yang didominasi oleh metode qiyas dan menggantikannya dengan metode istiqra'i.

Dalam bukunya, Novum Organom, Francis Bacon mencoba menelisik lebih jauh kesalahan pola berpikir masyarakat pada Abad Pertengahan. Dengan jeli, Bacon menyatakan bahwa ada 4 macam kekeliruan yang telah ditempuh oleh masyarakat sebelumnya. Pertama, Idos of Tribe -Itribus, yakni sebuah kekeliruan yang jamak menghinggapi seluruh manusia, kedua, Cave -Sbecus (kekeliruan yang secara spesifik hanya dimiliki oleh individu satu dan cenderung berbeda dengan lainnya), ketiga, Market -Fori; satu kekeliruan yang merupakan dampak dari keniscayaan dalam berinteraksi dan yang keempat, Theatre -Theatri, yakni kekeliruan yang terlahir karena adanya perasaan terhegemoni oleh argumentasi filosofis masa silam.[11]

Di sisi lain, dari kalangan rasionalis bermunculan tokoh-tokoh besar seperti Baruch Spinoza, G.W. Freiherr von Leibniz dan Rene Descartes --1596-1650-- (Cartesius). Descartes, pemilik jargon "cogito ergo sum" ini punya keyakinan yang sama dengan Bacon tentang perlunya metode berpikir baru. Sejarah mencatat, ada 4 tesa Descartes yang demikian fenomenal yang termuat dalam bukunya yang berjudul "Discourse on Method". Keempat tesa tersebut adalah, pertama, ketidak tergesa-gesaan dalam melakukan kesimpulan akhir sebelum adanya kepastian, kedua, memulai proses hipotesa dari hal-hal yang bersifat umum dan bergerak menuju hal-hal yang parsial, ketiga, melakukan klasifikasi terhadap objek secara cermat dan yang keempat, melakukan kajian secara mendalam dan komprehensif.[12]

Gejolak gairah intelektual yang berlandaskan terhadap rasionalitas-empirikal secara signifikan mendorong terhadap kesadaran bernalar masyarakat untuk melakukan reposisi terhadap peranan agama dan melakukan pengoptimalan kiprah ilmu pengetahuan. Masyarakat Eropa, pasca melewati fase Skolastik dan Renaissance, menyadari keharusan adanya relasi yang tepat antara diskursus metafisika, fisika dan manusia. Mereka juga beranggapan bahwa pemahaman yang tepat terhadap hakikat manusia merupakan prasyarat mutlak sebelum melebarkan kajian terhadap alam semesta.

Telah terbentuknya kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan epistemologi sebagai landasan berpikir mereka, sesungguhnya merupakan awal dari masa Pencerahan (Aufklarung). Tercatat, dalam masa Aufklarung ini nama-nama filsuf beken seperti John Locke, David Hume, George Berkeley, Imanuel Kant, Hegel, August Comte, John Stuart Mill dan lainnya. Banyak pakar menilai, bahwa tokoh yang berjasa besar dalam era Aufklarung ini adalah John Locke yang kerap menyuarakan kebebasan dalam berpikir, berpendapat, beragama dan memahamkan urgensi dari sikap moderat dalam beragama.

Penutup

Betapapun, tulisan ini hanya bercerita sekelumit perjalanan filsafat Barat; sangat jauh untuk sekedar menyajikan gambaran yang akurat. Yang menarik, filsafat Barat ternyata begitu erat dan bahkan terinspirasi oleh rasionalitas yang dibangun oleh Ibn Rushd. Namun, Barat dengan bijak menempatkan filsafat sebagai sebuah media untuk beranjak dari perilaku ahumanis dan ahistoris mereka.

Filsafat di tangan Barat menjelma sebagai pemantik kesadaran mendapatkan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, sementara Islam mengubur filsafat dalam-dalam untuk ditundukkan dalam ajaran agama yang dimanfaatkan secara sewenang-wenang oleh kalangan agamawan. Maka, sekarang, kita perlu mengambil dan mengembalikan kejayaan filsafat Islam dan menggunakannya sebagai modal awal dalam menggapai kemajuan.

>>Muhammad Mawhiburrahman, Peneliti di Philoschool dan Afkar Institute for Aufklarung (AIA)
artikel ini pertama dipublish 18 agustus 2007.
--------------------------------------------------------------------------------

[1] Untuk kakak penulis, M. Mustafiedlurrahman, Lc, yang memberikan ruang bagi kenakalan intelektual.

[2] Abdurrahman Badawi, (2004), Dawr al-'Arab fi Takwin al-Fikr al-Urubiy, Cairo: Maktabah al-Usrah, p. 30

[3] Terma Klasik di sini dimaksudkan untuk menunjukkan kepada filsafat Barat masa Skolastik; yakni sebuah era di mana filsafat lebih banyak dipelajari dalam sekolah-sekolah pendeta/ keuskupan (seminari). Filsafat masa Skolastik banyak berkembang di kawasan Italia dan Jerman (Bavaria).

[4] Ibid., p. 31

[5] Ibid., p. 32

[6] Ibid., p. 33-34

[7] William Kelley Wright, (2005), A History Of Modern Philosophy, Cet. II, Cairo: al-Majlis al-A'la li al-Tsaqafah, p. 37. Dialihbahasakan oleh Mahmud Sayyid Ahmad.

[8] Ibid., p. 39-41

[9] Ibid., p. 47-50

[10] Ibid., p. 50-54

[11] Yusuf Karam, (tt), Tarikh al-Falsafah al-Haditsah, Cet. V, Cairo: Dar al-Ma'arif, p. 47-48

[12] Op-cit, p. 93-98

0 comments:

Post a Comment

 
Top